Perempuan Pengejar Dunia

Beberapa waktu lalu ada diskusi di salah satu sosial media tentang perempuan bekerja dan informasi mengenai cara membekukan telur yang tak murah tentunya. Salah satu komentar membahas soal biaya yang tinggi. Ini kemudian ditanggapi dengan komen, hanya untuk mereka dengan gaji 2-3 digit yang super sibuk mengejar dunia. Buat saya, komentar sibuk mengejar dunia ini gak enak banget dan bisa diduga, yang komentar perempuan juga. Mungkin gajinya 1 digit? dan yang pasti, ia tak sibuk.

Berat memang jadi perempuan di dunia yang sangat patriarkis ini. Ketika ingin sukses bekerja dan mengaktualisasikan diri, masih saja ada nada-nada miring dari perempuan lain yang tak bisa menghargai dan meghormati pilihan perempuan lain. Mengejar dunia, menghidari kodrat sebagai perempuan, terlalu ambisius dan banyak rentetan komentar lainnya. Sementara bagi pria, bekerja itu sebagai sebuah hal yang normal dan tak perlu dikomentari macam-macam. Risihnya, tuduhan ini justru datang dari perempuan lain. Entah ini karena rasa iri dan dengki, atau memang kapasitas berpikir  sangat terbatas.

Image by Pijon from Pixabay

Kontribusi Pada Masyarakat

Kalau wawancara bekerja seringkali kandidat ditanya, kenapa memilih perusahaan tersebut? Jangan sekali-kali jawab mengejar dunia, material atau karena butuh uang untuk bayar tagihan. Dijamin tak akan bisa diterima di perusahaan tersebut.

Bekerja itu selain soal mendapatkan penghasilan dengan digit setinggi-tingginya, juga soal kontribusi terhadap perubahan di masyarakat. Berkarya di masyarakat. Perubahan ini bisa bermacam-macam, bisa positif dan tentunya bisa negatif. Contoh paling sederhana, kerja jadi tenaga kesehatan, yang seringkali digaji dengan upah rendah dan resiko tinggi,  untuk membantu orang-orang lain supaya sembuh dan sehat. Penghasilan tak seberapa, kerja keras (apalagi di tengah pandemik gini), super sibuk, pulang malam terus.  Berani ngelabeli pengejar dunia? Atau tuduhan ini hanya untuk perempuan pekerja kantoran saja dan mereka dikecualikan?

Belum atau Tak Ingin Kawin

Tak semua perempuan ingin cepet-cepet kawin, ada yang bahkan tak mau kawin sama sekali. Alasannya bermacam-macam, tak siap, belum bertemu pasangan, males ribet dengan pria, tak suka pria, tak tertarik dengan jender apapun, hingga memang karena negara tak mengijinkan perkawinan yang diidamkan.

Fokus diri kemudian bisa berganti pada pekerjaan, membangun usaha, atau sekolah setinggi mungkin.  Salah kalau sudah begini?  Hidup itu pilihan, bisa milih kejar laki-laki, bisa juga milih kejar dunia. Suka-suka mau milih yang mana. Tapi ya jangan reseh juga kalau ada yang capek ngejar laki-laki, karena ngejar karir atau studi itu lebih jelas arahnya.

Mengejar Hidup Setelah Mati

Ini nih argumen yang dipakai banyak orang. Jadi perempuan itu jangan hanya mengejar dunia saja, tapi juga jangan lupa Tuhan dan kehidupan setelah kematian. Pertama, urusan ketuhanan orang itu urusan dapur masing-masing, gak usah kompetifif lah. Yang kedua, kalau maksa kompetitif, jurinya yang berhak memutuskan itu cuma Tuhan.

Lagipula, jadi manusia baik itu juga tak selamanya bisa dilakukan dengan gratisan. Mengunjungi tempat-tempat untuk mendapat pencerahan spiritual itu gak gratis, pakai biaya transportasi. Memberi makan orang kelaparan dan anak-anak yang butuh pendidikan itu juga gak gratis, pakai duit semua. Gaji dua digit, tiga digit tuh bisa dengan mudahnya dihambur-hamburin, kalau mau.

Penutup

Ada banyak alasan perempuan bekerja keras, pintar dan sukses dengan gaji tinggi. Di dunia patriarkis ini, menaiki tangga kesuksesan itu susah banget. Banyak ketemu orang-orang yang tak mendukung dan banyak dicemooh. Belum lagi menjadi perempuan itu sering sekali dituduh emosinal dalam lingkungan pekerjaan.  Jumlah perempuan yang menduduki posisi tinggi itu juga gak banyak, ada kesenjangan gaji juga. Makanya sebagai bagian dari masyarakat, sudah saatnya perempuan yang berjual keras ini tak dianggap melakukan hal yang nista. Sukses itu normal dan perempuan itu juga harus sukses, di area apapun yang mereka pilih. Jangan cuma laki-laki aja yang dipuja-puja sebagai pekerja keras ketika mereka sukses. Perempuan juga harus diperlakukan dengan sama.

Yang di rumah saja menjadi ibu rumah tangga juga tak perlu nyinyir dengan mereka yang memilih bekerja. Menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja itu adalah suatu kemewahan dan pilihan, tak semua orang bisa melakukan hal tersebut. Ini pernah saya tulis di sini enam tahun lalu. Pada saat yang sama, gak bisa maksa juga supaya perempuan lain jadi ibu rumah tangga juga. Dunia juga sudah berubah, perempuan punya pilihan dan berhak memilih mau menjadi ibu rumah tangga ataupun bekerja. 

Permisi, saya mau mengejar dunia dulu!

xoxo,
Tjetje
Selain mengejar dunia juga mengejar anjing setiap hari. 

Advertisement

Irlandia dan Aborsi

Hari ini, Jumat 25 April 2018 akan menjadi hari bersejarah bagi Republik Irlandia. Warga negara Irlandia, hanya mereka yang memiliki paspor Irlandia, akan menyuarakan pendapanya, melalui referendum, tentang Amandemen ke delapan. Amandemen yang berada di konstitusi ini melarang perempuan untuk mendapatkan akses aborsi. Akibatnya, ribuan perempuan harus terbang ke Inggris untuk melakukan aborsi serta banyak dari mereka yang harus membeli pil dari internet untuk aborsi, yang dianggap sebagai pil terlarang di negeri ini.

Tak seperti di Indonesia yang memperkenankan aborsi ketika kondisi ibu terancam, di sini aborsi dalam kondisi apapun tak diperkenankan. Maka, ketika perempuan-perempuan mengalami kehamilan bermasalah, di mana fetus yang berada di kandungan mereka memiliki ketidaknormalan, mereka tak bisa mendapatkan pertolongan di sini. Salah satu kasus yang ramai memicu perubahan kondisi ini adalah kasus Savita yang sekilas pernah saya bahas di tulisan saya pada hari perempuan. Link tulisan ini akan saya sertakan di akhir artikel ini.

Selama beberapa bulan terakhir, kondisi Irlandia memanas. Negara ini terbagi dua, sebagian orang berada dalam posisi Yes, atau Tá dalam bahasa Irlandia. Mereka adalah orang-orang yang menginginkan perubahan, supaya para perempuan bisa memutuskan apa yang mereka bisa lakukan terhadap tubuhnya. Jika pemilih Yes ini menjadi mayoritas dan menang, maka amandemen ke delapan yang berada di konsitusi negara (iya, di dalam konstitusi sodara-sodara) akan dihapus. Akses aborsi akan dibuka hingga usia 12 minggu, atau jika di atas 12 minggu ketika kondisi ibu tak memungkinkan dan ada persetujuan dari setidaknya 2 tenaga medis.

Perubahan ini tak diinginkan oleh mereka yang berada di sisi kampanye No. Mereka, termasuk institusi keagamaan (dalam hal ini gereja), aktif berkampanye untuk menyelamatkan amandemen ke delapan ini (di sini sebut sebagai the eight amandement). Jika mereka menang, artinya tak akan ada perubahan. Perempuan-perempuan yang mengalami masalah dengan kandungan, harus pergi ke Inggris, bayar ongkos pesawat, melakukan aborsi, kembali lagi ke Irlandia (kadang mengalami pendarahan di dalam pesawat), lalu kembali ke Inggris lagi untuk mengambil kremasi bayi mereka.

Panasnya situasi ini juga merambah hingga ke Google dan Facebook. Google membuat policy untuk tidak menerima iklan terkait dengan referendum, sementara Facebook hanya menerima iklan yang berasal dari Irlandia. Isu aborsi ini memang menjadi isu penting bagi banyak negara lain, utamanya dengan gereja.

Dari pantauan saya di jagat maya dan juga dari lingkungan teman-teman, kelompok Pro Choice, atau Yes Campaigner, nampaknya banyak diperlakukan tak baik karena pilihan mereka. Ada beberapa orang yang diludahi ketika mereka mengenakan pin bertuliskan Yes. Meja kampanye mereka juga diporak-porandakan oleh pendukung kampanye No.

Saya sendiri, dipanggil pembunuh bayi. Padahal saya tak pernah membunuh bayi manusia. Panggilan ini muncul karena pilihan untuk menjadi pro choice, karena pilihan untuk mempercayai perempuan dan menginginkan perempuan memutuskan hal yang terbaik bagi tubuh mereka. Agaknya menjadi perempuan itu memang tak pernah mudah, dikala memutuskan untuk melakukan aborsi, dituduh pembunuh bayi, tapi ketika memutuskan untuk melanjutkan kehamilan juga tetap dihujat karena memiliki kehamilan di luar perkawinan. Semuanya salah.

Satu hal yang orang seringkali lupa, memutuskan untuk menggugurkan bayi adalah keputusan yang tak akan pernah mudah, bagi siapapun. Jikalau kemudian perempuan memutuskan untuk melakukan itu, kita harus percaya bahwa keputusan itu sudah didahului dengan pertimbangan matang-matang. Tentunya, sebagai penonton dari luar, kita tak pernah tahu pergulatan batin mereka ketika kemudian mereka memutuskan hal tersebut. Who are we to judge them, apalagi nuduh-nuduh dosa dan rentetan panjang penghujatan lainnya? 

Dari beberapa hari ini, jagat twitter diramaikan dengan hashtag #HomeToVote. Beberapa orang-orang Irlandia terbang kembali dari Canada, Hanoi, Swedia, untuk mendukung perempuan-perempuan di Irlandia. Penerbangan mereka tentunya bukanlah penerbangan yang susah, mengingat ribuan perempuan Irlandia harus terbang ke Inggris, dalam kondisi pucat, kesakitan, tubuh dan hatinya berdarah karena harus kehilangan bayi mereka.

Sebagai pemegang paspor hijau, saya hanya bisa melihat dari kejauhan riuhnya voting amandemen ini. Tapi dalam lubuk hati terdalam saya, saya berharap hari ini perempuan menang. Semoga kiranya pilihan itu tersedia dan perempuan Irlandia tak perlu melakukan perjalanan jauh lagi.

Good luck Ireland, Tá, Tá, Tá!!

xx,
Tjetje

Baca juga: Perempuan dan Aborsi

Banyak Anak Tak Selamanya Banyak Rejeki

Orang Indonesia percaya bahwa banyak anak, banyak rejeki; atau anak akan membawa rejekinya masing-masing. Kalimat-kalimat tersebut kemudian menjadi justifikasi untuk punya banyak anak. Bagi saya yang bukan penganut aliran-aliran di atas, rejeki nggak tiba-tiba datang karena punya anak, semuanya harus diusahakan dan yang paling penting : banyak anak tak selamanya banyak rejeki.

Dari manakah asal usul banyak anak banyak rejeki?

Di Indonesia, membeli asuransi ataupun membeli rencana pensiun bukanlah hal yang wajar. Bagi kebanyakan orang, hanya bekerja menjadi PNS-lah yang menjamin hari tua. Makanya banyak orang berlomba-lomba jadi PNS, supaya dapat pensiun. Padahal kalau mau, mereka bisa bekerja keras di masa muda untuk membeli pensiun plan dan berleha-leha di masa tua.

Urusan asuransi juga begitu, banyak orang Indonesia yang belum sadar untuk membeli asuransi. Biasanya mereka beralasan untuk makan saja susah kok mau buang-buang uang untuk perusahaan asuransi. Urusan sakit lazimnya dipikirkan belakangan, ketika sudah kejadian. Bukan si sakit yang memikirkan, tapi keluarga besarnya yang kemudian harus gotong royong bayar ongkos rumah sakit.

Konsep kekerabatan yang besar dan tolong-menolong dalam lingkungan keluarga inilah yang kemudian dipercaya memunculkan anggapan banyak anak banyak rejeki (banyak anak banyak yang gotong royong kan?). Konsep ini selain sukses bikin penduduk membludak juga bikin kerjanya orang asuransi susah, karena semua orang bergantung pada anggota keluarganya. Secara teori, ketika anaknya banyak, sukses dan berpenghasilan cukup, tentunya rejeki orang tua akan banyak. Tapi, masih relevankah teori ini?

Punya anak dijaman ini bukanlah hal yang murah. Emang bener ketika anak bayi lahir cuma perlu susu dari ibunya. Tapi ada komponen biaya lain yang kalau digabungkan jumlahnya akan fantasis, dari biaya persalinan, popok, baju (karena anak cepat besar),  hingga gaji staf domestik untuk merawat anak. Ini belum termasuk biaya kesehatan dan biaya pendidikan lho! Di kota besar seperti Jakarta, biaya pendidikan yang baik itu sebulannya bisa buat beli berlian setengah sampai satu karat. Ini ongkos bulanan lho ya, belum termasuk ongkos antar jemput, jajan, seragam, ataupun rekreasi. Sekolah di Indonesia itu mahal banget.

Makanya buat saya, konsep banyak anak banyak rejeki itu sudah nggak relevan lagi. Yang ada, banyak anak banyak rejeki buat toko peralatan bayi, rumah sakit bersalin, dokter, sekolah, perusahaan jasa penyalur pekerja rumah tangga, bukan buat orang tua. Walaupun tak bisa dipungkiri anak-anak memberikan kebahagiaan yang tak bisa dibandingkan dengan uang. Banyak anak banyak rejeki mungkin cuma berlaku di negara-negara yang penduduknya rendah sehingga ketika bayi lahir negara memberikan dana yang jumlahnya lumayan.

Tanpa mengurangi peran pria, perempuan punya peran besar dalam memutus konsep banyak anak banyak rejeki ini. Yang hamil perempuan, yang ngatur keuangan rumah tangga juga kebanyakan perempuan dan yang memasang atau menelan kontrasepsi itu perempuan; maka, kalau disuruh beranak banyak, pikirkan dengan baik-baik. Bukan berarti tak boleh (your body, your rule), tapi pertimbangkan juga penghasilan. Cukupkah penghasilan berdua untuk membayar sekolah yang bagus, membeli asuransi yang bagus? Kalau anaknya bisa dimasukkan ke sekolah bagus, kenapa harus beranak banyak dan  masuk sekolah biasa-biasa saja?

Tiap-tiap orang punya cara dalam merencanakan hidupnya. Ada yang langsung punya anak tanpa membuat perencanaan keuangan, ada juga yang nabung dulu supaya bisa punya anak tanpa mengorbankan hobi belanjanya. Semuanya pilihan individu masing-masing. Apapun keputusannya, bertanggunjawablah atas keputusanmu, pada anak-anakmu. Satu lagi, sebelum punya anak pastikan punya asuransi kesehatan dan pension, jangan gantungkan dua hal itu pada mereka.

lorraine

Tulisan ini saya ikut sertakan dalam blogiversarrynya Chez Lorraine. Mbak Lorraine, atau yang biasa dipanggil mbak Yoyen, merayakan ulang tahun blognya yang kesepuluh. Silahkan tengok disini kalau ingin ikutan meramaikan, siapa tahu kecipratan hadiah.

Kenapa saya harus dipilih jadi pemenang? Selain karena tulisan ini memenuhi semua persyaratan, tema tulisan ini saya pikirkan selama dua minggu *serius bener kan* karena buat saya sepuluh tahun anniversary blog itu serius. Dalam sepuluh tahun pastinya banyak dampak positif terhadap pada cara pandang orang lain. Tulisan pendek ini layak menang karena dalam tulisan ini ada harapan supaya perempuan di Indonesia bisa berpikir matang-matang sebelum memutuskan sesuatu yang akan merubah tubuhnya dan hidupnya. *tetep serius*

Happy blogiversarry Mbak Yoyen !

 Xoxo

Ailtje

Perempuan Hebat

Di balik pria hebat ada perempuan hebat. Dalam kasus saya, di balik keberhasilan saya (kalau ini bisa disebut keberhasilan) ada banyak perempuan hebat. Ada empat orang yang membuat saya semakin sangat bersyukur dengan apa yang saya punya. Tiga orang diantaranya bertalian darah dengan saya, sedangkan satu orang merupakan sahabat baik yang saya temukan dalam perjalanan hidup.

Pasti bisa nebak kalau salah satu orang yang bertalian darah dan hebat adalah Mama saya, dua lainnya adalah Eyang saya dan Tante saya (yang sudah seperti Ibu kedua bagi saya). Saya nggak akan ngebahas kehebatan dan hutang saya para perempuan-perempuan ini. Yang jelas, hutang saya gede banget dan gak pernah bisa dibayar dengan apapun. Bahkan cinta saya pun rasanya nggak akan cukup untuk bayar utang ke mereka.

Anyway, Mama saya ini 6th sensenya nyala banget dan bisa menilai orang dengan cepat. Yang paling sering jadi korban penilaian ya teman-teman saya. Dengan beberapa orang saya dilarang berteman. Tapi kan berteman itu harus dengan semua orang?  Jadinya ngelawan dong. Buntutnya, Mama yang bener, pertemenan buyar. Dulu saya nggak paham kenapa mama saya segitunya. Sekarang, setelah bersahabat selama 16 tahun, saya paham maksud mama saya. Kenalan dengan semua orang itu sah-sah aja, tapi untuk berteman yang deket banget, itu harus picky. Teman itu mempengaruhi cara pikir kita dan supaya cara pikir kita baik, maka temennya juga harus baik. Teman yang baik akan memberikan masukan baik dan otomatis berdampak bagus terhadap masa depan kita.

Saya dan sang sahabat gak pernah sekolah di sekolah yang sama. Kami juga bukan teman main petak umpet, karena kami nggak pernah tinggal di komplek perumahan yang sama. Pertemanan kami terjadi karena teman yang mengenalkan dan hidup membawa kami lebih dekat. Enam belas tahun berteman tentunya diwarnai dengan aneka rupa cerita, dari yang jelek sampai yang bagus. Bahkan diiringi dengan nama panggilan jelek yang bertahan hingga sekarang. Saya mendapat panggilan sayang Jumik atau Kumik. Cerita nama jelek ini asal muasalnya akan saya tulis di lain waktu ya (jika ingat dan jika sempat). Nggak cuma dia yang manggil saya dengan nama jelek, anak-anaknya pun memanggil saya dengan Tante Jumik. Parahnya, mereka tak tahu siapa nama asli saya. Hahaa…

Kalau cerita jelek yang saya ingat, saya sempat nangis-nangis heboh di depan dia (dan diminta tenang) karena putus dari mantan pacar. Rasanya dunia runtuh karena versi muda saya menganggap mantan pacar adalah segala-galanya. Dulu sih nangis-nangis dan gak mau disuruh tenang (geblek!) sekarang kalau inget saya cuma tersenyum kecut, nggak penting banget sih nangisi mantan pacar gak berguna yang hidupnya tak suksesk. Ini nuduh sambil berharap. Anyway, tujuan saya nulis ini bukan untuk membahas mantan pacar, apalagi nyumpah-nyumpahi, tapi untuk membahas bagaimana teman yang baik bisa membuat hidup lebih baik.

Tahun kejadian nggak perlu ditulis lah ya, nanti saya ketahuan umurnya masih mudah dong (iiiih…). Saat itu saya masih jobless karena baru lulus. Layaknya kebanyakan orang Malang, saya maunya kerja di Malang  aja karena tinggal di Malang itu nikmat banget. Kemana-mana deket, makanan murah. Comfort zone lah ya. Boro-boro mikir kerja ke Jakarta, waktu itu dipanggil wawancara di Surabaya aja udah nggak rela. Buat saya, hidup dengan polusi dan kemacetan Surabaya itu nista banget, eh tapi sekarang dua hal ini jadi makanan sehari-hari dan ngggak merasa nista. Nah sahabat sayalah yang kemudian membuka mata saya dengan ceramahan kalau tinggal di Malang tak akan membuat saya maju.  Yang di Malang gak usah tersinggung yah, ini konteks hanya berlaku untuk situasi saya saja. 

Gara-gara dia, saya pun mulai membuka diri dengan pilihan kerja di Jakarta. Sampai kemudian dapat kerja di Jakarta dan menetap di Jakarta selama sembilan tahun terakhir ini. Saking cintanya sama Jakarta kalau disuruh balik ke Malang untuk kerja saya bakalan mikir super panjang. Kalau bukan dia yang mempengaruhi saya, mungkin hari ini saya belum keliling Indonesia untuk berkontribusi sedikit pada pembangunan. Dia pula yang ngeracuni saya untuk belajar bahasa Perancis (dari jaman tahun 2000an dia udah ngeracuni saya) dan meminjamkan sebuah buku pelajaran bahasa Perancis yang dibeli Bapaknya di New York. Thanks to her support, sekarang saya bisa berbahasa Perancis, bahkan berguna pada saat saya melamar pekerjaan untuk sebuah badan dunia yang berpusat di Perancis.

Pengaruhn perempuan hebat ini pada hidup saya tak hanya itu, masih banyak pengaruh positif dan masukan berharga yang diberikan pada saya. Kalau di list di postingan, bisa-bisa jari jemari saya kram nulisnya. Pelajaran berharga dari 16 tahun pertemanan ini dan moga-moga jadi pelajaran berharga bagi banyak orang, terutama mereka yang masih sangat muda. Kalau milih sahabat itu harus selektif, seselektif memilih jodoh. Sahabat yang baik itu akan ada dalam suka dan duka, nggak pernah iri pada keberhasilan dan akan terus menerus mendorong kita tanpa lelah supaya kita terus maju.

Harriet Stowe emang bener, women are the real architect of the society!

Selamat ulang tahun sahabat baik! Selamat hari perempuan internasional juga untuk semua perempuan dimuka bumi ini.